Siaran Pers
Pontianak, 6 Juli 2025.
Setiap tahunnya, terutama pada bulan Juli, kerap beredar pesan berantai di masyarakat yang mengaitkan fenomena Aphelion dengan penurunan suhu udara dan dampaknya terhadap kesehatan. Pesan tersebut menyebutkan bahwa saat Aphelion, ketika Bumi berada pada titik terjauh dari Matahari, suhu udara di permukaan Bumi akan menjadi lebih dingin dibandingkan dengan periode lainnya. Informasi ini menyebar sangat cepat dan tidak jarang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

Perlu diketahui bahwa fenomena Aphelion merupakan peristiwa astronomis tahunan yang biasanya terjadi pada bulan Juli. Pada saat itu, posisi Bumi memang berada pada jarak terjauh dari Matahari. Namun demikian, secara ilmiah, kondisi ini tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap perubahan cuaca atau suhu udara di permukaan Bumi, khususnya di wilayah Indonesia. Hal ini karena faktor yang memengaruhi cuaca dan suhu udara lebih dominan berasal dari dinamika atmosfer dan pola angin musiman, bukan dari jarak Bumi terhadap Matahari.

Suhu udara yang cenderung lebih dingin pada bulan Juli di Indonesia sebenarnya merupakan bagian dari fenomena alamiah yang umum terjadi selama puncak musim kemarau, yakni pada bulan Juli hingga September. Pada periode ini, terjadi pergerakan angin dari arah timur hingga tenggara yang berasal dari Benua Australia. Ketika Australia memasuki musim dingin, terbentuklah pola tekanan udara tinggi yang mendorong massa udara dingin bergerak menuju Indonesia. Aliran angin musiman ini dikenal dengan sebutan Monsun Dingin Australia.

Angin dari Australia tersebut melewati perairan Samudra Hindia yang memiliki suhu permukaan laut relatif dingin, sehingga turut menurunkan suhu udara di wilayah Indonesia, terutama di bagian selatan khatulistiwa. Selain itu, berkurangnya tutupan awan dan rendahnya curah hujan pada musim kemarau menyebabkan suhu udara pada malam hingga pagi hari terasa lebih dingin. Langit yang cerah (clear sky) mengakibatkan radiasi panas dari permukaan Bumi langsung dilepas ke luar atmosfer tanpa tertahan oleh uap air. Akibatnya, suhu udara di dekat permukaan menjadi lebih rendah, terutama pada malam hari.

Berdasarkan analisis data suhu udara 30 tahun terakhir dari *Stasiun Meteorologi Supadio*, diketahui bahwa rata-rata suhu udara bulan Juli memang sedikit lebih rendah dibandingkan bulan Juni. Namun demikian, rata-rata suhu bulan Juli masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata suhu tahunan. Bulan-bulan yang mencatatkan suhu udara rata-rata lebih rendah daripada rata-rata tahunan adalah Oktober, November, Desember, Januari, dan Februari.

Adapun ambang batas suhu ekstrem maksimum di Stasiun Meteorologi Supadio tercatat sebesar 35,3°C. Menariknya, suhu udara pada bulan Juli pernah mencapai 35,8°C, yang berarti pada bulan Juli masih berpeluang terjadi suhu udara yang tinggi. Justru hanya bulan November dan Desember yang belum pernah mencatat suhu ekstrem di atas 35,3°C.

Sementara itu, suhu minimum pada bulan Juli memang bisa lebih rendah dibandingkan suhu minimum rata-rata tahunan. Namun, bulan-bulan lainnya seperti Januari, Februari, Maret, Juni, Agustus, September, dan Oktober juga menunjukkan potensi suhu minimum yang lebih rendah dari rata-rata tahunan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fenomena suhu dingin terutama di Kalimantan Barat pada bulan Juli lebih disebabkan oleh faktor klimatologis seperti angin monsun dan kondisi atmosfer lainnya, bukan karena fenomena Aphelion. Masyarakat diimbau untuk tidak langsung mempercayai informasi yang beredar tanpa merujuk pada sumber resmi dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Masyarakat diimbau juga untuk terus memonitor informasi perkembangan cuaca dan peringatan dini cuaca ekstrem dari BMKG, melalui : Website https://kalbar.bmkg.go.id;
Akun media sosial instagram : @bmkg_kalbar;
Aplikasi iOS dan android "InfoBMKG";
atau dapat langsung menghubungi kantor BMKG terdekat.